" ING NGARSO SUNG TULODHO ING MADYO MANGUN KARSO TUT WURI HANDAYANI "

Sabtu, 30 Agustus 2014

Perayaan Kemerdekaan Bukan Sekadar Seremonial


Bulan Agustus identik dengan bulan perjuangan. Menjadi pengingat diri akan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan fisik, sebagaimana terproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 silam. Darah, keringat, pikiran para pahlawan tercurahkan untuk satu kata “merdeka”. Biar nyawa melayang asal hati dalam keimanan. Penjajahan bertentangan dengan keimanan yang menyelimuti hati. Allah ciptakan manusia bukan untuk terdzalimi, namun untuk saling berkasih sayang, tolong menolong dalam kebaikan. Perjuangan itu dilandasi iman dalam hati. Hati kecil berseru bahwa penjajahan haram terjadi di bumi pertiwi.
Biar nyawa melayang, asal anak keturunan hidup senang,  surga yang diimpikan menjadi kenyataan. Semangat mengusir penjajah kian berkobar. Siang, malam tetaplah menjadi singa, tak kenal kata lelah dan menyerah. Kobaran semangat merdeka  mengalir dalam darah para pejuang. Bumi Nusantara nan kaya ingin bebas dari belenggu musuh-musuh yang rapuh.
Beraneka cara dan rupa perjuangan dilakukan, mulai sifat kedaerahan yang miskin kekuatan hingga satu kekuatan menyatu maka kata merdeka jadi nyata. Hidup bukanlah tujuan, namun berperang di jalan keridhaan itulah kemenangan. Tak perlu pujian generasi selanjutnya, makian para penjajah, selama penjajahan itu berlangsung maka tersusun kekuatan demi kemenangan.
Kemerdekaan adalah rahmat Allah, di sana darah para pejuang mengalir dalam keridhaan. Dengan izin Allah sang penjajah kalah, bumi pertiwi merdeka dari kedzaliman. Sebagai generasi yang cemerlang, tak elok kiranya melupakan jasa para pahlawan. Para penjajah telah hengkang dari bumi pertiwi dengan izin Allah dan pengorbanan para pejuang. Sebagian besar penduduk negeri memperingati kemerdekaan dengan aneka lomba. Lomba panjat pinang, capil, makan kerupuk, gerak jalan, karnaval dan lainnya. Upacara 17 Agustus pun tak pernah ketinggalan.
Kemerdekaan itu hadiah terindah dari Allah, maka bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan (kemerdekaan) adalah keharusan. Wujud syukur itu tak cukup dalam hati dan lisan akan tetapi juga dalam perbuatan. Jika kita merenung sejenak melihat fakta masyarakat, seakan masyarakat menganggap memperingati kemerdekaan sebatas seremonial. Seperti gerak jalan, karnaval layaknya kewajiban yang secara otomatis menggugurkan kewajiban salat. Betapa tidak, mencoba menengok para peserta gerak jalan dengan waktu salat berada di jalan hingga ke tempat finish waktu salat pun telah habis. Masjid dan tempat salat dilalui tanpa dihampiri meski cukup sepuluh menit untuk menghadap Ilahi. Hampir dapat dipastikan kewajiban salat terabaikan. Seakan kewajiban salat hilang saat peringatan kemerdekaan. Sementara seorang muslim yang sudah baligh tetap wajib menjalankan salat. Dengan alasan apapun tiada gugur dalam kewajiban salat kecuali hilang akal, wanita haid, wanita yang sedang nifas. Begitu juga dengan kegiatan karnaval yang sering dilakukan, make up dari salon sebelum adzan subuh tiba, berhias make up hingga jam salat subuh dan dhuhur habis.
Lalu sempatkah melakukan salat? Bisa jadi tidak. Hampir bisa dipastikan kebanyakan tengah maksiat berjamaah. Seperti inikah wujud syukur muslim memperingati kemerdekaan? Karnaval identik dengan tabarruj (bersolek yang berlebihan) yang bagi wanita muslim dewasa ini adalah larangan dalam agama.
Lalu dengan apakah kita bersyukur akan kemerdekaan?
Bersyukur akan kemerdekaan adalah keharusan. Generasi cemerlang senantiasa berfikir sebelum bertindak. Berpegang teguh pada prinsip yang melekat. Bersandar pada standart yang tepat dan mantab. Standart yang berasal dari sang Khalik (Allah SWT). Jika para pahlawan mengalirkan keringat, darah bahkan nyawa melayang, maka generasi cemerlang mengenangnya dengan amalan yang memberi manfaat pada negeri tercinta. Jika dahulu penjajah menjajah secara fisik, kini pemikiran kita dijajah. Generasi cemerlang tak akan rela negerinya dikuasai asing meski secuil pun. Senantiasa berkarya untuk bangsa yang agung dengan kemajuan IPTEK, peradaban yang mulia.
Jika sekarang pemikiran sekulerisme, liberalisme menggerogoti negeri, maka saatnya generasi cemerlang membuang jauh sekulerisme. Karena dengan sekulerisme, Undang-undang berpihak pada kaum kapital. Minyak dan kekeayaan alam tak lagi dinikmati kaum pribumi, akan tetapi dikeruk asing hingga rakyat tinggal gigit jari. Begitu juaga dengan liberalisme, kebebasan yang tanpa batas ini menjadikan negeri bebas kebablasan. Pornografi dan pornoaksi kian marak, asing bebas bercokol di bumi pertiwi, sementara penduduk pribumi seperti mati di kandang sendiri.
Sudah saatnya masyarakat sadar akan bencana yang melanda negeri ini. Bebas dari penjajah atas izin Allah, menikmati hasil kemerdekaan pun dengan aktivitas dalam keridhaan Allah. Sebagai pelajar belajar dengan rajin, berkarya, taat dalam agama, berjuang untuk peradaban mulia karena Allah semata. Peringatan bukan sekedar seremonial namun lebih kepada tepat sasaran. Andai para pahlawan masih hidup akankah mereka menangis melihat generasi dan anak cucunya tengah bermaksiat memperingati kemenangannya? Hidup adalah pilihan, maka pilihan tepat adalah jalan kebenaran. Bukan ikut-ikutan apa yang telah diberikan nenek moyang yang tanpa ilmu pengetahuan. Allahu A’lam.

Tidak ada komentar: