Bulan Agustus identik dengan bulan perjuangan. Menjadi pengingat diri akan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan fisik, sebagaimana terproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 silam. Darah, keringat, pikiran para pahlawan tercurahkan untuk satu kata “merdeka”. Biar nyawa melayang asal hati dalam keimanan. Penjajahan bertentangan dengan keimanan yang menyelimuti hati. Allah ciptakan manusia bukan untuk terdzalimi, namun untuk saling berkasih sayang, tolong menolong dalam kebaikan. Perjuangan itu dilandasi iman dalam hati. Hati kecil berseru bahwa penjajahan haram terjadi di bumi pertiwi.
Biar nyawa
melayang, asal anak keturunan hidup senang, surga yang diimpikan menjadi
kenyataan. Semangat mengusir penjajah kian berkobar. Siang, malam tetaplah
menjadi singa, tak kenal kata lelah dan menyerah. Kobaran semangat merdeka
mengalir dalam darah para pejuang. Bumi Nusantara nan kaya ingin bebas
dari belenggu musuh-musuh yang rapuh.
Beraneka
cara dan rupa perjuangan dilakukan, mulai sifat kedaerahan yang miskin kekuatan
hingga satu kekuatan menyatu maka kata merdeka jadi nyata. Hidup bukanlah
tujuan, namun berperang di jalan keridhaan itulah kemenangan. Tak perlu pujian
generasi selanjutnya, makian para penjajah, selama penjajahan itu berlangsung
maka tersusun kekuatan demi kemenangan.
Kemerdekaan
adalah rahmat Allah, di sana darah para pejuang mengalir dalam keridhaan.
Dengan izin Allah sang penjajah kalah, bumi pertiwi merdeka dari kedzaliman.
Sebagai generasi yang cemerlang, tak elok kiranya melupakan jasa para pahlawan.
Para penjajah telah hengkang dari bumi pertiwi dengan izin Allah dan
pengorbanan para pejuang. Sebagian besar penduduk negeri memperingati
kemerdekaan dengan aneka lomba. Lomba panjat pinang, capil, makan kerupuk,
gerak jalan, karnaval dan lainnya. Upacara 17 Agustus pun tak pernah
ketinggalan.
Kemerdekaan
itu hadiah terindah dari Allah, maka bersyukur kepada Allah atas nikmat yang
diberikan (kemerdekaan) adalah keharusan. Wujud syukur itu tak cukup dalam hati
dan lisan akan tetapi juga dalam perbuatan. Jika kita merenung sejenak melihat
fakta masyarakat, seakan masyarakat menganggap memperingati kemerdekaan sebatas
seremonial. Seperti gerak jalan, karnaval layaknya kewajiban yang secara
otomatis menggugurkan kewajiban salat. Betapa tidak, mencoba menengok para
peserta gerak jalan dengan waktu salat berada di jalan hingga ke tempat finish
waktu salat pun telah habis. Masjid dan tempat salat dilalui tanpa dihampiri
meski cukup sepuluh menit untuk menghadap Ilahi. Hampir dapat dipastikan
kewajiban salat terabaikan. Seakan kewajiban salat hilang saat peringatan
kemerdekaan. Sementara seorang muslim yang sudah baligh tetap wajib menjalankan
salat. Dengan alasan apapun tiada gugur dalam kewajiban salat kecuali hilang
akal, wanita haid, wanita yang sedang nifas. Begitu juga dengan kegiatan
karnaval yang sering dilakukan, make up dari salon sebelum adzan subuh tiba,
berhias make up hingga jam salat subuh dan dhuhur habis.
Lalu
sempatkah melakukan salat? Bisa jadi tidak. Hampir bisa dipastikan kebanyakan
tengah maksiat berjamaah. Seperti inikah wujud syukur muslim memperingati
kemerdekaan? Karnaval identik dengan tabarruj (bersolek yang berlebihan) yang
bagi wanita muslim dewasa ini adalah larangan dalam agama.
Lalu dengan
apakah kita bersyukur akan kemerdekaan?
Bersyukur
akan kemerdekaan adalah keharusan. Generasi cemerlang senantiasa berfikir
sebelum bertindak. Berpegang teguh pada prinsip yang melekat. Bersandar pada
standart yang tepat dan mantab. Standart yang berasal dari sang Khalik (Allah
SWT). Jika para pahlawan mengalirkan keringat, darah bahkan nyawa melayang,
maka generasi cemerlang mengenangnya dengan amalan yang memberi manfaat pada
negeri tercinta. Jika dahulu penjajah menjajah secara fisik, kini pemikiran
kita dijajah. Generasi cemerlang tak akan rela negerinya dikuasai asing meski
secuil pun. Senantiasa berkarya untuk bangsa yang agung dengan kemajuan IPTEK,
peradaban yang mulia.
Jika
sekarang pemikiran sekulerisme, liberalisme menggerogoti negeri, maka saatnya
generasi cemerlang membuang jauh sekulerisme. Karena dengan sekulerisme,
Undang-undang berpihak pada kaum kapital. Minyak dan kekeayaan alam tak lagi
dinikmati kaum pribumi, akan tetapi dikeruk asing hingga rakyat tinggal gigit
jari. Begitu juaga dengan liberalisme, kebebasan yang tanpa batas ini
menjadikan negeri bebas kebablasan. Pornografi dan pornoaksi kian marak, asing
bebas bercokol di bumi pertiwi, sementara penduduk pribumi seperti mati di
kandang sendiri.
Sudah
saatnya masyarakat sadar akan bencana yang melanda negeri ini. Bebas dari
penjajah atas izin Allah, menikmati hasil kemerdekaan pun dengan aktivitas
dalam keridhaan Allah. Sebagai pelajar belajar dengan rajin, berkarya, taat
dalam agama, berjuang untuk peradaban mulia karena Allah semata. Peringatan
bukan sekedar seremonial namun lebih kepada tepat sasaran. Andai para pahlawan
masih hidup akankah mereka menangis melihat generasi dan anak cucunya tengah
bermaksiat memperingati kemenangannya? Hidup adalah pilihan, maka pilihan tepat
adalah jalan kebenaran. Bukan ikut-ikutan apa yang telah diberikan nenek moyang
yang tanpa ilmu pengetahuan. Allahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar